Nantikanku di Keabadian


7.2.14
 Rintikan hujan senja ini, memberi pertanda bahwa matahari telah lelah menatapku yang tetap saja begini. Aku yang hidup di tengah kesibukkanku akan kuliahan hingga tak sempat meluangkan waktu untuk mengingat satu hal. Hal wajib bagi perjaka hampa sepertiku. Yaitu mencari seorang pendamping hidup.
                Walau sebenarnya aku ini masih terbilang muda dan tak heran jika masih sendiri. Asal kalian tahu, tujuanku bukan untuk menghabiskan masa mudaku ini dengan berkhalwat bersama anak gadis orang yang belum halal bagiku. Jadi, aku rasa kesendirianku ini lebih baik dari pada aku harus menggadaikan rasa maluku ini pada suatu perbuatan yang akan menjauhkanku dengan Tuhan, Sang Kekasih sejati. Nantilah semua akan indah pada saatnya. Saat yang tak lama lagi aku kira.
                Gemercik air yang bernyanyi menghujam payungku berseteru dengan suara langkah kakiku yang bersemangat hendak menjumpai sang kekasih, yakni lantai sebuah toko kitab yang sudah sering dipijaknya.
“assalamu’alaikum”
“wa’alaikum salam, wahai pengunjung setiaku.” Sahut sang pemilik toko yang sedang asyik membereskan kitab-kitabnya.
Mendengar sahutannya yang kian hari kian ramah saja, aku pun tersenyum ramah padanya. Kitab-kitab yang tak pernah bosan aku kunjungi ini sudah seperti pendamping hidup masa mudaku saja. Namun, ternyata senja ikut bosan mengintipku yang sedang asyik membaca. Kini ia memilih untuk pergi menyelam. Kumandang adzan maghrib di setiap mesjid kembali beradu padu. Ini waktunya aku pergi. Sayang, hanya sekejap aku berkunjung. Pemilik toko pun bisa memakluminya.
“afwan, tak terasa ini sudah waktunya shalat maghrib. Ana pamit dulu. Lain kali ana kembali, insyaallah.”
“ya, afwan afwan. Di luar masih hujan. Apa ente tetap memaksa keluar ? tunggulah di sini sampai hujan reda.”
“syukron, ustadz. Ana bawa payung.”
“oh, toyib. ‘ala fikroh, lihat di depan sana ! Siapa ukhti itu ? ente kenal ? mungkin salah satu teman ente di kampus. Daritadi dia disana mungkin menunggu hujan reda.”
“aina ? yang pake cadar itu ? entahlah ana belum lihat. Ana kan perjaka ustadz. Mana berani menengok akhwat di kampus.”
“ente kan bawa payung, sudahlah berikan saja padanya. Kasihan, tidak baik akhwat maghrib seperi ini masih di luar rumah. Walau berdua, tetap saja bisa menjadi fitnah.”
“lah, ana gimana ustadz ? ana gak berani samperin mereka, malu. Bisa menjadi fitnah.”
“la laa.. tidak apa-apa, niat ente kan baik, ana juga kalau ada payung dari tadi sudah diberikan.”
“tapi ustadz..”
“syur’ah ! ini sudah terlewat maghrib. Ente belum sholat, ukhti itu juga belum, kan ? Allah Maha Mengetahui, Mi.”
“hmm... baiklah ustadz. Ini demi Allah.” Jawabku pasti karena Ustadz bilang nama Allah, aku tergerak untuk menolongnya.
                Aku segera bergegas membawa payung sederhana milikku ini. Aku tak bisa berlama-lama karena langit semakin gulita. Apalagi, aku harus bergegas untuk sholat.
“assalamu’alaikum. Ukhti ambillah payungku ini ! tidak apa-apa, bergegaslah pulang. Hujan semakin deras.”
Mereka menjauh, mungkin takut padaku. Lalu aku yakinkan mereka dengan menundukan pandanganku, agar mereka tidak perlu cemas kalau kalau aku malah menggoda mereka. Walau begitu, mereka tetap tidak mau mengambil payungku ini. Tak perlu berpikir panjang, aku simpan saja payung ini di bawah. Lalu aku segera pergi berlari di antara buliran air hujan yang membasahi jaketku ini. Ukhti itu ? entahlah aku tidak meliriknya. Yang terpikir olehku hanya satu. Mencari masjid terdekat di sekitar sini.
Hari demi hari terus bersaing untuk menyapaku dengan shubuh dan maghrib. Payungku sudah tidak lagi tergeletak di depan toko kitab terakhir kali aku menaruhnya. Syukurlah, ukhti itu mengambilnya. Siapa mereka ? entahlah, belakangan ini aku tidak berkunjung ke toko kitab lagi. Umi mungkin tak ingin aku terlalu jauh darinya, karena Abu pergi entah kemana. Umi bilang ia pergi untuk bekerja. Walau begitu tetap saja ia seharusnya memberi kabar pada anak-anaknya. Ia lebih tepat dibilang  menghilang tertiup angin. Tak ada kabar.
Aku rindu ucapan , “wa’alaikum salam, wahai pengunjung setiaku.” Ini sudah hari ke 8 setelah hari itu, aku tidak kembali berkunjung. Mungkin kitab-kitab itu sekarang sedang tergeletak merana terkurung kerinduan akan hadirku. Sebaiknya aku kembali berkunjung saja. Walau harus sekedar menyapa.
Tak seperti senja waktu itu, kali ini hujan tak ikut bertamu. Mungkin mereka sedang tak bersahabat. Senja hangat, seolah memberi petunjuk bahwa matahari mulai tersenyum padaku. Suara langkah kaki usangku rupanya membuat burung-burung berkicau ria. Bagiku, jalanan ini seakah berkata “ahlan wa sahlan , Fahmi !” toko kitab pun ikut melambai-lambai menyambut kedatanganku. Dengan riang aku kembali menggenggam lengan pintu toko, lalu menyapa..
“Assalamu’alaikum. Yaa ahlul jannah !”
“wa’alaikum salam, Amiin yaa Allah. Ahlan wa sahlan , Yaa akhi , Rodhiallahu ‘ankum. Kaifa haluk ? lama sekali ana tidak menemuimu , Fahmi.”
“afwan, ana jaga Umi, Ustadz. Bagaimana keadaan di sini ? kitab-kitabnya tidak menangis ditinggalkan olehku kan ?? “
“aah, ente ada-ada saja !  masuk masuk ! ente terlihat bahagia sekali..”
“na’am , Tadz. Ana rindu.”
“kemarilah ! ada yang mencarimu !”
“man ?”
“ukhti yang waktu itu ?”
“ah, Ustadz bercanda ! ada apa mereka mencariku ?”
“la laa.. dia sendiri. Katanya mau mengembalikan payung milikmu.”
“kenapa dikembalikan ? ana ridho, ambil saja payungnya.”
“ente saja yang bilang langsung sama orangnya.”
“la ustdaz ! dia kan sendirian ? lah, kenapa sendiri ?”
“dia bilang temannya sakit.”
“apa karena waktu itu terlalu lama menunggu hujan reda ?”
“ana tidak tahu. Sudahlah, lebih jelas kita panggil saja orangnya. Tunggu sebentar..”
Ustadz Abdul memanggil ukhti itu. Lalu kami berbincang walau lebih tepatnya, Ustadzlah yang berbincang dengannya. Payung itu kembali di tanganku. Ia berterima kasih dan meminta maaf karena telah berprasangka buruk terhadapku. Rupanya, dia tidak sendiri. Ia bersama suaminya yang tak lama menjemputnya pulang. Dan ukhti yang satu lagi ? dia sedang di rumah sakit. Entahlah apa penyakitnya. Walau begitu, aku tetap merasa bersalah. Lalu Ustadz menyuruhku menjenguknya di rumah sakit. Aku akan mengajak adikku, Fatimah, barulah aku berani menjenguknya.
Setibanya di sana, ukhti itu sedang ditemani seorang wanita dan 2 orang pria. Aku yakin mereka orangtuanya. Lalu pria satu lagi ? ah, mungkin dia suaminya.
“dek, kita pulang saja. Abang tidak berani menjenguknya. Di sana ada suaminya.”
“Abang tahu darimana dia suaminya ? kalau pun benar. Tidak apa-apa. Bagus kan ? atau abang naksir yaa ?”
“wuss, ngawur kamu ! bagaimana bisa abang ini naksir sama isteri orang.”
“sudahlah, daripada berprasangka yang tidak-tidak sebaiknya kita segera masuk, toh niat abang kan untuk menjenguk ?”
Setelah berpikir lagi, akhirnya aku masuk juga. Kami disambut ramah oleh orangtua si pasien yang tak lain ukhti itu. Lalu kami berbincang tentang bagaimana aku mengenalnya. Dan Abinya menepuk pundakku berterima kasih, karena telah meminjamkan payung pada anak gadisnya. Gadis ? iya, ternyata pria satu lagi adalah adik kandung si ukhti sendiri. Tebakanku salah rupanya. Selesai berbincang dan memanjatkan do’a untuk kesembuhannya, kami pamit untuk pulang. Zahra, nama yang indah.
“astaghfirullah.. “
“ada apa bang ?”
“ah, tidak ada.”
Entahlah. Setelah bertemu dengannya lagi, ada apa denganku ? sudahlah. Aku tidak begitu mengenalnya. Aku harus fokus untuk kuliahanku.
“bang, ukhti Zahra itu cantik ya ? kasian sekali dia hanya bisa tidur di rumah sakit. Kalau saja dia jadi kakak Fatimah.”
Aku hanya terdiam seolah tak mendengarnya. Lidahku kelu tak bisa menjawab cletukan Fatimah yang mengisyaratkan sesuatu. Apa dia tahu hal aneh yang aku alami ? perasaan aneh sejak saat itu ? Ya Allah, ada apa ini ?
Esok harinya, di pagi buta aku keluar untuk sekedar menghirup udara segar untuk menyegarkan hatiku yang gundah. Tak jauh, ku lihat toko kitab yang segera buka. Aneh, terlalu awal untuk buka. ada apa ya ? diserang rasa penasaran, aku pun menghampirinya.
“Assalamu’alaikum. Tadz, tumben sudah buka ?”
“wa’alaikum salam wa rohmatullah. Hai, Fahmi ! ana memang buka jam segini, loh ente tidak tahu ? ente sendiri sedang apa ?”
“oh, begitu. Hebat ya ustadz. Ah, ana hanya , hmmm anu, jalan saja.”
“ada apa ? cerita lah pada Abi mu ini !”
“tidak ustadz.”
“soal Zahra ya ?”
“loh, kok ustadz tahu namanya ?”
Melihat ekpresiku yang terkejut, Ustadz malah tertawa lalu menepuk pundakku.
                “kalau ente serius, temuilah ayahnya !”                
                “Ustadz ini bilang apa ? mana mungkin, tadz. Ana tidak mengenalnya.”
                “kenapa tidak ? pernikahan itu adalah setengah dari kesempurnaan agama. Ente lebih paham soal itu. Yakinlah, mungkin ini petunjuk dariNya.”
                Wajah keriput Kakek itu, sang pemilik toko, terlihat serius sekali. Biasanya dia selalu bercanda, namun kali ini ? dia menyuruhku bertindak sejauh itu. Apa aku ikuti saja sarannya ? tapi, apa ini tidak terlalu cepat ? aku segera pulang untuk memikirkannya matang-matang. Pernikahan bukanlah permainan ! batin dan akalku terambang-ambang di lautan asa yang membingungkan. Aku segera pergi untuk sholat dan berdzikir pada Tuhanku untuk meminta pelabuhan yang damai dari pelayaranku ini. Tasbihku terdengar di hati Umi yang lebih mengetahui isi hati anaknya. Ia bertanya seolah tak tahu, aku ini kenapa dan dia juga menanyakan soal Zahra. Ah, sialnya Fatimah sudah menceritakan Zahra pada Umi.
                “ Umi, wajah Fahmi memerahkah ?”
                “ Ya Allah, tak pernah Umi lihat wajah merona ini sebelumnya.”
                “ Apa Umi yakin Fahmi ini sedang melintasi lautan dalam yang dihiasi oleh suatu mutiara yang terpendam itu ?”
                “ Umi yakin, Fahmi akan mendapatkan yang terbaik. Pergilah ! atau perlu Umi temani juga ?”
                “ tunggu dulu, Umi. Fahmi belum siap. Fahmi takut ditolak.”
                “ baiklah, Umi mengerti. Jangan terlalu larut dalam keragu-raguan. Yakinlah ! sekarang tenangkanlah dulu pikiran dan hatimu.”
Ucapan Umi terdengar lembut penuh pengharapan. Aku tak ingin mengecewakannya. Aku kembali menyendiri di kamar kecilku ini. Mendekatkan diri kepadaNya. Selang beberapa jam, Fatimah mengetuk pintu kamar.
                “ Bang, ada kak Yuda, adiknya Ukhti Zahra. Dia ada keperluan dengan Abang katanya. Keluarlah ! “
Yuda ? ada apa dia kemari ? aku segera keluar merapihkan penampilanku agar tidak terlihat sedang diterkam kegundahan. Ia berbincang denganku. Ini tentang Zahra. Aku tidak menyangka apa yang baru saja aku dengar dari pernyataan Yuda. Akhirnya, perahu ini menemukan pelabuhannya. Dengan hati yang tak kuasa aku tahan, aku bergegas menuju rumah sakit tempat Zahra dirawat. Umi pergi menyusulku dengan Fatimah karena ikut terbawa suasana meletup-letup di  hatiku.
                Sabtu, 1 Februari 2014 pukul 08.00 semuanya telah berubah. Air mata keharuan diiringi kesederhanaan resepsi Ijab Qabul yang baru saja aku laksanakan merangkai kebahagiaan keluarga kecil kami yang kemudian bersatu dalam sebuah ikatan suci. Fahmi Nugraha Al-Ghazali usia 21 tahun dengan Zahra Humaira usia 20 tahun kini membuka lembaran baru untuk dilalui bersama.  Zahra yang masih tertidur dalam sakitnya, aku kecup kening lembutnya penuh kasih sayang. Hari-hari berikutnya, Zahra terbangun melihatku , suaminya. Ku lihat raut wajah yang berbinar-binar di wajahnya. Zahra lebih dulu menyukaiku saat aku memberinya payung waktu itu. Dan akhirnya terbalaslah cintanya yang tersembunyi itu dengan terbangun dalam genggaman pria yang di cintainya, dalam kesucian.
                Setiap jam aku lalui di rumah sakit menemani isteri tercintaku ini. Aku menggendongnya kesana kemari, menyuapinya makan, membacakan ayat-ayat Al-qur’an, menjadi imam sholatnya dan imam keluarga baginya. Dan saat dia semakin dirangkul sakit, aku, Fatimah, dan Yuda selalu siaga menghiburnya.
                “Abangku dan Ukhti Zahra seperti sepasang sandal. Kalau aku jadi sandal, kak Yuda jadi apanya ?”
                “ jadi e’e ayam”
                “ loh, kok bisa ?”
                “ biar bisa keinjek terus nempel di hati adek.”
                “ abang, niih kak yuda ngegombalin adek !”
                “ yudaaaaaa !!”
                “ I love you A’a !!”
Mendengar candaan kami, isteriku tertawa kecil. Kami bahagia bisa melihat tawanya. Begitulah hari-hari kami selama di rumah sakit menemani Zahra.
Malam ini, kondisi Zahra semakin memburuk. Aku membawa mawar, membacakan puisi romantis, dan menyanyikan lagu indah untuk menghiburnya. Apapun yang membuatnya bisa semakin kuat untuk bertahan, akan aku lakukan.
Aku beruntung punya isteri sepertimu , Zahra sayang. Kau selalu ingin menyempatkan waktu di pagi hari untuk sholat Dhuha. Sebelum tidur selalu membaca Al-qur’an dan berdzikir hingga terlelap. Di sepertiga malam, kau pun selalu ingin menyempatkan waktumu untuk bertahajjud. Begitupun malam kali ini. kau lebih khusyu dalam beribadah, walau fisikmu lemah. Aku benar-benar bahagia bisa menyelami ibadah bersamamu. Cepat sembuh ya , sayang.
 Di kesunyian menjelang pagi setelah tahajjud, adzan Subuh silih memanggil para alhul jannah untuk bergegas menghadapNya untuk mendirikan shalat. Begitu pun kami, aku dan Zahra. Kami shalat subuh berjamaah, berdua dalam kamar rumah sakit. Begitu khidmat hingga wajahnya bercahaya. Cahaya keimanannya yang menerangi kalbuku. Ku cium keningnya yang halus. Dan dingin. Membuatnya kembali tertidur dengan lelap.
Kamis, 6 februari 2014 pukul 05.30 sebuah dentuman keras menimpa batinku.
“sayang, jangan tidur terlalu lama. Mari Abi gendong berkeliling menghirup udara segar. cepat sembuh ya, sayang !” kembali aku kecup keningnya yang semakin membeku.
Aku tatap wajahnya, yang begitu bercahaya walau tertidur. Bibir meronanya mulai memutih seputih kulitnya yang kemerahan. Namun lebih putih dari itu.
                Seberkas cahaya di pagi hari menyinari air mataku. Begitupun hati-hati bahagia di tengah keluarga kami mulai meredup dibendung keharuan. Haru biru yang mengantarkan Zahra dipulangkan ke rumah.
                “ sayang, ayo bangun. Udah siang, makan dulu. Abi suapin yaa ? atau kalau mau tidur di kamar saja ya , jangan di sini banyak orang.”
                Sungguh jangkar itu menembus tepat di hatiku. Pelayaranku berhenti tepat di atas terumbu karang yang terkikis oleh terjangan ombak. Air mataku tak terbendung lagi. Semua orang berkata , “ikhlaskan.. Semoga Allah memberi tempat terbaik di sisiNya.” Entah bagaimana aku meluapkannya. Belahan jiwaku , harapanku , dan masa depanku terhempas oleh sebuah kenyataan pahit akan kepergiannya. Abu ? dia tetap tidak ada. Saat aku ijab qabul , saat aku bersama isteri tercinta, saat aku bersedih , saat menantunya pergi, dia pun tidak ada di sini. Tidak ada !
                Umi, terima kasih sudah menjadi bidadari Abi. Umi, maafkan Abi bila selama ini abi belum bisa sepenuhnya menjadi suami yang baik bagi Umi. Umi , payung ini menjadi saksi bagi kita berdua. Awal kita berjumpa, awal kita memendam cinta yang tertutup rapat. Hingga akhirnya kita bisa dipersatukan oleh Allah agar bisa menjalani bahtera kehidupan bersama. Umi, Abi bahagia merawat Umi selama ini. Umi, dunia ini begitu singkat. Pertemuan kita di dunia ini terlalu singkat, namun sudikah Umi menantikan Abi di keabadian ?? setulus cinta Abi , hanya Umi-lah bidadari bagi Abi. Selamat jalan, Bunga cintaku. Kita akan bertemu kembali, InsyaAllah..  semoga Allah menghilangkan rasa sakit dalam timang tidurmu tanpa batas impian.
Ket : namun beberapa dirubah demi kesempurnaan karya
Epilog
                Rintikan hujan senja ini, memberi pertanda bahwa matahari telah lelah menatapku yang tetap saja begini. Aku yang hidup di tengah kesibukkanku akan kuliahan hingga tak sempat meluangkan waktu untuk mengingat satu hal. Hal wajib bagi perjaka hampa sepertiku. Yaitu mencari seorang pendamping hidup.
Gemercik air yang bernyanyi menghujam payungku berseteru dengan suara langkah kakiku yang bersemangat hendak menjumpai sang kekasih, yakni lantai sebuah toko kitab yang sudah sering dipijaknya.
“assalamu’alaikum”
“wa’alaikum salam, wahai pengunjung setiaku.” Sahut sang pemilik toko yang sedang asyik membereskan kitab-kitabnya.
Mendengar sahutannya yang kian hari kian ramah saja, aku pun tersenyum ramah padanya. Kitab-kitab yang tak pernah bosan aku kunjungi ini sudah seperti pendamping hidup masa mudaku saja. Namun, ternyata senja ikut bosan mengintipku yang sedang asyik membaca. Kini ia memilih untuk pergi menyelam. Kumandang adzan maghrib di setiap mesjid kembali beradu padu. Ini waktunya aku pergi. Sayang, hanya sekejap aku berkunjung. Pemilik toko pun bisa memakluminya.
“afwan, tak terasa ini sudah waktunya shalat maghrib. Ana pamit dulu. Lain kali ana kembali, insyaallah.”
“ya, afwan afwan. Di luar masih hujan. Apa ente tetap memaksa keluar ? tunggulah di sini sampai hujan reda.”
“syukron, ustadz. Ana bawa payung.”
Setahun sudah semenjak kepergian Zahra, aku kembali seorang diri. Perjaka ? ah, aku ini sudah berstatus duda di usia muda. Setiap aku mengunjungi toko kitab ini, kenangan itu selalu melintas di pikiranku. Apalagi hujan seperti ini, memalingkan wajahku pada tempat pertama aku melihat Zahra menunggu hujan reda.  Ustadz Abdul tak banyak bicara melihat genangan air yang terbendung dalam mataku yang berkaca-kaca. Tatapan kosongku kali ini, menyadarkanku akan satu hal.
“Ustadz, payung ini ana simpan saja di toko.”
“loh, memangnya kenapa ?”
“agar tidak ada lagi orang-orang yang menunggu hujan reda.”
Kakek tua itu tersenyum lalu menghampiriku. Dia menepuk pundakku. Dia mengerti isi hatiku. “apa ustadz tahu, hingga kini Abu belum kembali. Abu tidak tahu seberapa dalamnya ana terluka. Ana ini seperti tidak ada lagi gunanya hingga membuatnya pergi entah kemana.”
                “ana ini kan juga Abi mu, Fahmi. Ingat itu ! Abi selalu menyayangimu, abi tahu seberapa dalamnya kau terluka. Kenapa tidak kau tambal saja luka itu ? mencari mutiara lain yang belum kau temui ? mencari bunga lain yang bisa memberimu harumnya dunia ini ?”
                “ tidak ah, Abi ! hatiku hanya terisi satu mutiara saja. Dan hidupku terasa wangi karena satu bunga saja. Tak ada lagi bunga lain yang bisa membuatku bahagia selain Zahraku saja. Assalamu’alaikum Abi.. ana pergi dulu untuk sholat dan memohonkan singgasana termegah untuk Bidadariku, Zahra Humaira.” 
The end

Comments

Popular posts from this blog

Kami adalah Ummahatul Ghad (UG)

Cowok Keren Limited Edition

Barefoot In Baghdad (resensi buku dan sinopsis)