Karena Aku Bukan Cewek GauL

                Hari ini aku baru saja bertemu kembali teman SMP yang sudah 1 tahun setengah berpisah. Aku mendapat panggilan dari a Ridwan, pelatih nasyidku saat SMP, untuk datang ke sana membantunya melatih nasyid grup yang masih junior. Setibanya di sana, aku disambut hangat oleh kedua teman satu tim dulu. Mereka memelukku dan salah satu berkata,
“kau tidak berubah rupanya.”
“apa ? kenapa ? apa aku masih pendek seperti dulu ?” tanyaku tersenyum canda. Karena hanya itu yang bisa aku katakan setelah sekian kali mendapat ucapan serupa menyebutku tak kunjung tinggi menyusul mereka.
“aah, bukan..” jawabnya. Aku pikir mungkin dia tidak berbohong. Kami saling tersenyum.
                Kembali ke tanah SMP, aku merasa kembali menjadi diriku di masa putih biru. Aku yang cupu, yang tak pandai bergaul. Namun, Semua orang mengenalku. Ya, mungkin itu karena aku selalu berada di depan mereka membawa pulang beberapa piala ketika waktu upacara selesai. Atau mungkin karena wajahku yang terpampang bersampingan dengan calon-calon ketua OSIS selama 2 periode. Dan keduanya menjadikanku berada di posisi paling rendah.
                Masih banyak yang aku lakukan saat di SMP dulu. Tapi, walau mereka mengenalku, mayoritas tidak benar-benar menjadi temanku. Karena aku tidak bergaul bersama mereka. aku hanya tidak tahu bagaimana caranya menjadi remaja gaul seperti mereka. atau, kalaupun tahu, aku tidak mau jadi seperti mereka. aku tak punya uang untuk dipamerkan.
                Saat orang-orang memakai HP nyamnyung atau BB atau No*ia merek terbaru, aku masih menggunakan HP china yang KW-KW an. Saat orang-orang memakai tas merek Neo*ak atau yang mahal-mahal pokoknya, aku masih memakai tas produk lokal yang diskonan karena langsung dibeli di Rumah pembuatannya. Aku masih ingat tas selendang warna hitam yang mirip banget tas merek eag*r yang dibeli dengan harga hanya  Rp 15.000 saja tapi awet dipakai. Dan saat orang-orang memakai sepatu merek all st*rs aku masih memakai sepatu yang mereknya ada angka 88 atau merek sepatu lokal lainnya. Pokoknya aku hidup serba sederhana dengan modal yang serba murah.
                Tapi, sekarang aku merasa beruntung karena dulu tidak seperti mereka. karena kehidupanku yang sangat sederhana tanpa kehadiran Ayah dan Ibu di rumah selama bertahun-tahun, aku dituntut menjadi anak yang mandiri. Aku juga menjaga diri dari pergaulan. Karena pergaulan menuntut banyak uang. Begitulah pergaulan yang ada di sekitarku dulu. Obrolan mereka seputar korea, hollywood, dsb. Mereka makan di Mall, kedai, atau tempat outdoor lainnya. Nobar di rumah teman pun jika harus keluar ongkos aku tak mau ikut. Menjauhi mereka dari belakang. mungkin lebih baik, dari pada dipandang iba, aku selalu berkata, “maaf gak bisa ikut karena harus menjaga adik di rumah.”
                Hari ini, aku kembali menjadi agni yang kaku. Yang tak mengerti soal pergaulan. Padahal mereka itu temanku. Tapi, aku sudah muak ditertawakan. Aku benar-benar bingung bagaimana bisa sebanding dengan mereka. tapi aku baru sadar, mungkin Allah mengangkat derajatku lebih tinggi dari mereka karena jilbab dan pakaian yang aku kenakan untuk menutupi auratku. Aku mungkin bukanlah orang yang pantas disebut gaul. Tapi setidaknya aku harus tahu bagaimana caranya seorang muslimah bergaul.  


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kami adalah Ummahatul Ghad (UG)

Cowok Keren Limited Edition

Barefoot In Baghdad (resensi buku dan sinopsis)