Guru dengan Gaji Minim Namun Semangat Maxi
Kesenjangan sosial.
Rasanya walau dirasa kontroversial namun sudah menjadi hal lumrah bagi
Indonesia. Yang kaya semakin kaya dan yang membutuhkan kewalahan sendiri. Botol
besar diberi tutup yang kekecilan sedangkan botol kecil diberi tutup yang
kebesaran, tidak akan ada yang pas ! segala sesuatu harus sesuai dengan
kebutuhannya. Seharusnya begitu..
Ini
mengenai cerita salah satu guru sekolahku. Seputar gaji yang didapat guru
sekolah swasta dan guru sekolah negeri yang jauh berbeda.
Pagi
itu, pada suatu bulan yang hangat, setelah lebih dari seminggu tak berjumpa guru
Fisika Killer kami yang seringkali berubah menjadi Sweety dan sering bilang
“say”, akhirnya kembali mengajar. Di sekolah kami, setiap mata pelajaran hanya
dapat ditemui satu kali dalam satu minggu. Karena waktu yang terbatas dengan
jadwal yang bisa mencapai 40 mata pelajaran. Jadinya, saat sekali saja seorang
guru tak mengajar, maka kita hanya akan mungkin belajar bersama kembali dengan
sang guru minggu depannya. Lebih lebih kalau hingga beberapa kali tak masuk
karena sakit, seperti guru fisika kami yang satu ini. Kebayang dong berapa
banyak materi pelajar yang tertinggal ?
“ada apa tadz, kok kelihatannya bahagia
sekali pagi-pagi udah senyum-senyum gitu ?”
“ada sesuatu ya tadz ?”
“engga.. yaa karena ustadz hari
ini bisa mengajar kembali, jadi harus ceria ngajarnya biar muridnya pun bisa
belajar dengan senang hati.”
“ciee..”
“kadang, walau di rumah saya
sedang ada masalah, atau sedang sakit, tetap saja ketika memasuki kelas harus
datang membawa kebahagiaan, walau dengan gaji yang tak seberapa.”
“memangnya gaji di sini kecil ya
tadz ?”
“yaa, kalo dibandingkan dengan
gaji saya yang dari SMA beda jauh tentunya.”
“sebenarnya saya masih kurang
sehat, tapi kalo saya gak masuk lagi nanti gaji saya bisa habis dipotong.”
“ooh, ada potongannya, tadz, kalo
guru gak ngajar ?”
“ya iyalah..”
“gaji saya sebulan itu gak nyampe
200 ribu.”
“ah, beneran ?”
“iya. Dulu itu sebelum saya
ngajar di sini, saya ngajar di SMA islam lain. Dan gaji awal bulan itu Cuma
dapet 75 %. Gajinya Cuma 100 ribu awal-awal ngajar. Dan saya Cuma dapat 75ribu di
bulan pertama.”
“kok kecil banget ???”
“dan, waktu itu istri saya bilang
gak usah ngajar lagi di sana, karena jadwal saya bentrok. Kalau sekali gak
ngajar gaji saya dipotong 25ribu.”
“abis dong ? *gubrakk !”
Sambil tersenyum-senyum, ustadz
meneruskan ceritanya.
“setelah itu ada panggilan untuk
mengajar di sini. Maklum, saya itu ketua pimpinan cabang persis di kecamatan
saya. Jadi merasa ada amanah untuk mengajar di jam’iyyah.”
“gaji di sini memang lebih besar.
Makanya, istri saya berharap akan lebih mencukupi kebutuhan. Eeh, taunya di
sini gaji awal malah gak dikasih.” Sang ustadz kemudian tertawa lepas dengan
wajah sumringah. Mungkin merasa geli sendiri dengan kenyataan yang hampir tidak
mungkin dibayangkan orang-orang.
“HAA ?? “
Beberapa
orang terkejut tak percaya. Beberapa lagi langsung ikut tertawa. Tapi akhirnya
kami semua tetap tertawa. Kami tidak mentertawakan. Bukan. Hanya saja, dibalik
tawa itu ada sesuatu yang menjadi pukulan telak bagi kami. Inilah realita !
segala keluh kesah kita terhadap guru yang mengajar di sekolah tak sebanding
dengan apa yang mereka perjuangkan untuk sesuatu yang tak begitu bernilai dari
segi materi.
“gaji saya kalau di SMA sampai 2
jutaan. Tapi jujur saja, saya lebih bangga mengajar di sini. Di pesantren.”
“di pesantren, saya dipanggil
ustadz. Kalau di SMA saya dipanggil Bapak. Ada kebanggaan sendiri saat
dipanggil ustadz. Belum lagi kalau kelak saya meninggal, saya ingin disholatkan
sama santri santri yang sholeh dan sholehah. Beda kalau statusnya guru biasa.
siswa SMA belum tentu semuanya tahu bagaimana cara menyolatkan jenazah. Jadi, yang
saya butuhkan adalah do’a dari kalian.”
Ngena
di hati. Kami semua sangat terharu. Ternyata gaji sebesar apa pun, tidak bisa
mengalahkan keajaiban do’a. Beliau sendiri bercerita bahwasannya sebanyak apa
pun uang yang diterima, tidak akan ada sepeser pun yang akan dibawa mati
olehnya. Padahal usianya masih 40 tahunan. Tapi tentu, usia tak ada yang
menjamin. Maka bagaimanapun, kematian memang sudah sepatutnya menjadi bayangan
wajib di setiap harinya yang harus kita renungkan.
Ustadz
yang secara lughowi berarti seorang guru. Sebutan ini lebih berkesan baginya.
Bukan soal persepsi apa yang dia dapatkan, karena beliau sendiri sadar, apa pun
namanya, dia tetaplah dia. Hanya saja, karena ‘siapa’ yang dia ajar dan ‘untuk apa’ ia mengajar, itulah yang menjadi prioritas kebanggaannya. Hanya
dengan niat tulus mencari keridhoanNya, walau diberi imbalan materi
yang sangat rendah dibanding penghasilan seorang becak sekalipun. Tapi, bukan
“Uang” yang ustadz kejar. Lantunan do’a
untuk mengharap maghfiroh Allah baginya-lah kelak ketika dia telah berpulang
terlebih dahulu.
Heran
saja. Kenapa gaji seorang guru yang mengajar di sekolah islam, termasuk
pesantren seperti ini bisa sekecil itu ? hanya karena status swasta ? bukankah
justru swasta lah yang harusnya lebih diprioritaskan dari pemerintah ? agar
semua bangsa dapat mendapat pendidikan yang “SAMA” demi tercapainya tujuan
negara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kenapa sekolah
yang sudah megah dengan status “negeri”
nya dan bahkan masih dikenakan pungutan dari siswa, masih saja dialiri dana miliaran seperti
yang dialami sekolah Menengah Pertama tempat saya belajar dulu ? lalu, kenapa
sekolah swasta yang tentunya tersebar banyak di Indonesia, dan kebanyakan diisi
oleh pelajar kurang mampu malah diberi tunjangan yang ‘seadanya’ dengan fasilitas
yang belum memadai untuk mencapai kompetensi dasar pembelajaran ?
Kau juga tentu
tahu, mungkin guruku yang satu ini hanyalah satu dari milyaran orang yang
bersedia mengajar walau dengan gaji dibawah rata-rata. Bisa kita bayangkan,
seberapa banyak memangnya yang mampu bekerja keras menuntaskan kebodohan dengan
imbalan yang tak sebanding ? lalu bagaimana nasib para pelajar yang bersekolah
dengan ketersediaan guru yang terbatas ? atau bahkan bagaimana dengan masa
depan generasi bangsa yang tidak
mendapat hak pendidikan yang layak dan
tak bisa bersekolah, seperti anak-anak TKI yang tinggal di perbatasan, atau
anak-anak yang tinggal di pedalaman yang tak diperhatikan pemerintah ?
Tak ada yang
bisa aku lakukan selain dengan kemampuan intelegensi seorang penerus bangsa. Ah,
tidak ! aku tak ingin menjadi penerus dari budaya buruk ini. Aku ingin menjadi
pelurus. Meluruskan yang bengkok. Memperbaiki sistem yang tak berjalan baik. Kita
semua, apapun statusnya, harus ikut andil dalam memerdekakan Indonesia dengan
makna yang sebenarnya suatu hari nanti.so, tetap semangat belajar !! ^_^
Catatan : untuk Al-Ustadz Jaya,
Asatidz, dan guru-guru seluruh nusantara yang mengalami memiliki semangat Maxi
seperti kisah di atas, semoga Rahmat
Allah Menopang langkah kaki kalian dalam berjuang menuntaskan kebodohan.
Allahumma Yarham..
Comments
Post a Comment